Tanggal: | 19 May 2005 |
Sumber: |
InfoBankNews.com, Dua orang remaja mewakili Indonesia dalam kontes peneliti muda internasional bertajuk International Exhibition for Young Inventors (IEYI 2005) pada 19 - 21 May 2005 di Putra World Trade Centre (PWTC) Kuala Lumpur, Malaysia. Keduanya adalah Liestya Chandra Ayu Kusuma yang masih duduk di kelas 2 SMA YP Vidya Dahana Patra, Bontang, Kalimantan Timur dan Sigit Dwi Maryanto, siswa kelas 2 SMA Negeri 6 Yogyakarta.
Hasil penelitian kedua remaja tersebut terpilih sebagai penelitian terbaik dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tya mengadakan penelitian mengenai pembuatan batako yang menggunakan serbuk kayu ulin sebagai pengganti pasir. Sementara Sigit mengajukan hasil penelitiannya mengenai tape singkong yang proses fermentasinya dilakukan melalui suntik.
Kontes peneliti muda merupakan agenda rutin baik di tingkat internasional maupun tingkat nasional. Menurut Dr Anung Kusnowo APU, ketua delegasi Indonesia dalam ajang tersebut, khusus untuk penelitian remaja, LIPI lebih mengarahkan pada penelitian terhadap teknologi tepat guna yang memanfaatkan kekayaan alam Indonesia.
Menurut Anung, penemuan kedua remaja tersebut berpotensi untuk dijadikan paten. Saat ini permohonan hak paten atas kedua hasil penelitian tersebut telah diproses. Baik Tya maupun Sigit sama-sama berharap dapat memperoleh hak paten atas hasil penemuannya. Namun, baik Tya maupun Sigit belum berpikir bagaimana paten tersebut akan digunakan.
Sebagai penemu ia berhak menerima paten atas nama pribadi. Namun dirinya mengaku belum terbayang besarnya biaya yang harus disediakan untuk memperoleh paten tersebut. Begitu pula bagaimana memanfaatkan paten apabila disetujui. Saat ini pengurusan patennya dilakukan oleh para pembimbingnya. Hasil penemuan itu sendiri bisa didaftarkan sebagai hak paten yang berumur 20 tahun atau paten sederhana yang hanya berumur 10 tahun.
Berdasarkan informasi yang diperoleh KCM dari situs Direktorat jenderal Hak Kekayaan Intelektual Depkeh dan HAM (dgip.go.id), untuk satu permohonan paten biayanya Rp 575 ribu. Setelah itu diharuskan mengajukan pemeriksaan substantif dengan biaya Rp 2 juta. Sedangkan untuk permohonan paten sederhana Rp 475 ribu terdiri dari biaya permohonan paten sederhana Rp125 ribu dan biaya permohonan pemeriksaan substantif paten sederhana Rp350 ribu.
Masih ditambah biaya pemeliharaan yang harus dibayarkan setiap tahun. Menurut data dari situs inovasi.lipi.go.id, pada tahun pertama berkisar Rp700 ribu. Biaya tersebut makin lama makin besar. Biaya tahunan pada tahun ke-11 hingga ke-20 mencapai Rp5 juta untuk satu paten
Sedangkan biaya tahunan untuk paten sederhana relatif lebih murah dibandingkan dengan paten biasa, yakni pada tahun pertama sebesar Rp550 ribu. Sedangkan untuk tahun ke-10 mencapai Rp3.850.000. Masa perlindungan hukum atas paten sederhana hanya 10 tahun.
Bagi seorang remaja jumlah tersebut tentu sangat besar dan akan menjadi salah satu yang menghambat penyelesaian hak paten. Di lain pihak, sayang sekali jika kerja keras yang tinggi tidak mencapai hasil maksimal hanya karena biaya.
Mungkinkah Tya dan Sigit dapat menikmati hasil paten temuannya atau minimal dapat mengelola paten hasil penemuannya? Jawabnya tentu saja relatif. Baik Tya maupun Sigit hanya berharap penemuannya kelak dapat membantu masyarakat di sekitarnya, menyerap tenaga kerja, dan melestarikan lingkungan.
Agar keinginan tersebut bisa terwujud, seharusnya penyelenggara lomba, pembimbing, maupun para peneliti itu sendiri lebih memahami kebutuhan tersebut. Selain memberikan perlindungan atas hak atas kekayaan intelektual, upaya mematenkan hasil penelitian di Indonesia adalah upaya melindungi aset dalam negeri.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !